Feeds:
Pos
Komentar

HUJAN

Resapi rintik hujan kemarin

Enggan meninggalkan basah yang membasuh bumi

Setiap tetesan penuh makna

Ketika kau mengerti tentang cara mencintaiku

Ingatkah kau hujan kala itu

Andai hujan itu tak pernah ada

Waktulah yang menjawab

Ada kalanya cinta itu terluka

Tetapi bukan untuk melukai

Indahkan saja pada akhirnya

KEEGOAN

Mimpi itu telah kau hempaskan

Ingatan telah kau tutupi

Setiap rindu kau penjara

Namun gejolak tak bisa dikurung

Apakah sebait kesalahan lalu tak bisa ditaubatkan

Wajibkah diri untuk belajar melupakan

Ataukah kembali berdua menjahit keegoan

Tidaklah runtuh langit jika memaafkan

Indahnya jika waktu itu menghampiri walau hanya dejavu

Aku memikirkannya dengan sederhana

Namun tak sederhana yang orang fikirkan

Di matanya terurai beribu pesan

Indahnya pesan cinta

 

Raut wajahnya polos menyaji senyum

Akan mahligai sebuah keramahan

Hanya kisahnya yang tak pernah bisa terlupa

Mungkin sampai kisah-kisah lain mengombang-ambing

Arti dirinya  melebihi rintik hujan yang setia membasuh tanah

Hidupnya penuh arti dan berarti

 

Apabila sekali saja dia menorehkan senyum itu

Mungkin langit tak mendung lagi

Airmata hati tak menguap lagi

Lalu kapankah masa itu bisa hadir kembali?

Namamu terpahat dalam ruang kisah di kalbuku

Untuk menjadi denyutan-denyutan penuh makna

Rasa ini

Meniadakan segala bentuk kesedihan

Antara aku, kamu dan kenangan di setiap sudut waktu

Lelahmu kini adalah ketiadaan diri bagiku

Apalagi yang bisa kuharap tanpamu selain menjalani kisah pilu

 

Ribuan bahkan jutaan kisah baru tak berarti

Andaikata dirimu hadir dan tak pergi lagi

Mungkin kita bisa menyempurnakan kisah cinta Laila Majnun

Dan mengajarkan kepada anak cucu Adam

Apa yang seharusnya dilakukan dalam menafsirkan cinta

Namun keputusanmu kala itu menggelar mimpi buruk

Itu menjadi babak baru kau mengharuskanku mengenang tahi lalatmu lewat syair

IRAMA KEBENCIAN

Biarkan airmata mengalir manja

Untuk kita yang terlalu liar merayakan cinta

Terlena dalam wajah lain kenyataan

Seperti  mimpi yang coba dikutuk

Isakan lirih tak pernah tulus lagi

Asa tinggallah asa

Remuk di bibir pembodohan

Anyir semerbak pilu

Hingga luka terluka oleh luka

 

Asap mengepul menyamarkan rindu

Zaman baru telah tiba

Irama kebencian membahana

Kamuflase terduga oleh waktu

Ingatan harus tercuci

Nafas itu telah pergi jauh

Telah terangkai sebuah alunan kisah di balik hujan

Pernah memercikkan tetesan-tetesan kerinduan

Mengisyaratkan sebuah harap

Pada indahnya komitmen keseriusan

Ingin kugapai rasa di balik binar matamu

Dan mengerti rindu di balik senyummu

Aku rindu

Tanpa judul


Kita yang masih setia berjalan di atas roda kehidupan

Adalah pejuang atas keberadaan diri sendiri

Terjatuh-bangkit, terluka-sembuh, selalu ada yang berpasangan

 

Nusantara, 17 februari 2011


Siang macet di sebuah rute pete-pete

Di bawah pekik surya yang menghajar hingga ke ubun

Kudengar celoteh dari suara-suara yang digolongkan aspirasi tapi tak pernah diaspirasikan

Suara seorang penumpang pete-pete kepada pak sopir

Celoteh yang berusaha menggambarkan sebuah realita

Kudengar celoteh pak sopir, yang berkelakar tentang kesemrawutan kota

Akibat kesemrawutan panggung politik

Jalan yang semakin berkurang tak mampu menampung kendaraan yang membludak, katanya

Kudengar celoteh pak sopir, yang menertawakan pemerintah

Yang kerjanya cuma memerintah bukan melayani, katanya

Kudengar celoteh pak sopir, yang terdengar polos dan murni memikirkan rakyat

Lebih polos dari celoteh mahasiswa yang duduk melingkar tapi tak lagi murni


Setialah kepada Konsistensi

Setialah kepada Cahaya

Setialah kepada Kebenaran

Setialah kepada yang patut disetiakan


Mata terjaga dalam prosesi konsekuensi rutinitas

Menyibakkan tabir Sang Penjaga

Inilah kita yang lupa diri, melupakan Sang Maha Segala Maha

Menjebak paradigma tidur dalam kungkungan ketidakstabilan

Tecipta kesia-siaan, selebihnya adalah dosa

 

02/03/02